Puasa Pertama Bobby di Kampus
http://kvltmagz.com/wp-content/uploads/2012/07/Puasa-puasa-kok-galau-Edisi-berbuka-dengan-yang-gratis.jpeg
Besok adalah sejarah besar
bagi Bobby. Karena dia menjalani puasa pertamanya tanpa keluarga. Terutama ummi,
ibu yang yang sangat disayanginya. Tahun ini Bobby masuk kuliah. Dia diterima
di salah satu perguruan tinggi negeri di Surabaya. Dan kebetulan, hari pertama
masuk kuliah bersamaan dengan datangnya bulan suci Ramadhan. Tentu kebayang,
betapa kangennya dia sama keluarga. Ingin sahur bersama, buka bersama, dan
sholat tarawih bersama. Pokoknya always together. He loved his family so
much! hehehe… Jauh-jauh hari dia
sudah khawatir. Apa bisa menjalani puasa tahun ini dengan lancar.
Tadi malam sebelum tidur, dia
sudah menyetel alarm di HP-nya tepat pukul 03.00 dinihari. Dia langsung
kebayang umminya. Tahun-tahun sebelumnya, ummi yang sering membangunkan pada
waktu sahur.
”Ah, biasanya aku nggak usah
repot-repot kayak gini. Ummi selalu
bangunin aku.” batin Bobby.
Ternyata Bobby bangun agak
terlambat. Jam 03.45 dia baru bangun. Langsung dia lihat HP-nya.
”Busyet ! Ternyata nih HP masih
silent mode. Bego banget aku. Wah, musti buru-buru cari makan sahur nih.”
Dalam waktu singkat Bobby
telah berganti baju. Sampai-sampai lupa belum cuci muka. Padahal, bekas ilernya
masih ada di sudut bibir kanannya. Tapi, peduli amat. Yang penting sahur dulu.
Daripada nanti siang nggak kuat puasa. Tapi, jam segini dia kesulitan cari
warung yang masih buka. Rata-rata sudah tutup karena habis.
”Duh Gusti, muter-muter dari
tadi kok nggak nemuin warung yang masih buka. Ya gini kalau bangun kesiangan.
Tapi perasaan belum siang deh.” Bobby bicara sendiri. Dia mulai kebingungan.
Tiba-tiba, lima menit
kemudian, dia melihat ada warung yang masih buka. Bobby langsung meluncur
secepat kilat.
”Alhamdulillah...! Teriaknya
tiba-tiba. Wah, harus cepet-cepet nih. Ntar keburu habis.!”
Bobby langsung menuju warung
yang kira-kira berjarak 150 m dari tempatnya berdiri. Dan, sesuai perkiraan,
yang beli banyak banget. Seluruh ruangan dalam warung tersebut penuh sesak.
Hampir semuanya mahasiswa.
Bobby segera ambil ancang-ancang.
Dia langsung memasang tampang serius. Seperti seorang pelari 100 m yang ingin
meninggalkan lawan-lawannya.
”1, 2, 3... Bu, pesan nasi
campur lauk ayam sama teh anget...!” teriakan Bobby melesat cepat, secepat
mobil F1 yang tengah bertanding di arena balap.
Tentu saja teriakan Bobby
mendapatkan reaksi keras dari pembeli yang juga antre.
”He, bocah edan, kamu nggak
tahu kalo aku dah ngantre dari tadi.! maen pesen seenaknya.” teriak pemuda
berambut gimbal yang berdiri di depannya.
”Iya tuh. Dasar kunyuk
melempar buah.” tambah pemuda kurus di sampingnya.
”Tapi mas, kunyuk melempar
buah kan jurusnya Wiro Sableng.!” bela Bobby.
”Iya tho ?” pemuda bertubuh
kurus tampak heran.
”Ya, bego...!” teriak pemuda
gimbal membenarkan Bobby.
”Alahhhh, nggak peduli.! mau
jurusnya Wiro Sableng ato jurusnya Ksatria Baja Hitam aku nggak takut. Yang
penting kamu jangan seenaknya aja. Antre dulu..!” pemuda kurus tadi berusaha
ngeles dari kebegoannya.
”Tapi... ” belum sempat Bobby
bicara si pemuda sudah menyahut.
” Nggak ada tapi-tapian. Titik
!”
Bobby pasrah. Tidak ada
gunanya berdebat. Sambil menunggu antrean, dia selalu melihat ke arah jam
tangannya. Tampak kecemasan di wajahnya. Sebentar lagi imsak. Perutnya belum
terisi sama sekali.
Akhirnya sampai juga giliran
Bobby. Dia segera pesan makanan sahurnya. Bobby berusaha menunggu dengan
tenang. Tapi, makanannya belum keluar-keluar. Dan... kesabaran Bobby pun habis.
”Bu, mana pesananku ?” teriak
Bobby.
”Sabar, mas ! lihat nih,yang
antre juga masih banyak.” penjaga warung menimpali dengan tak kalah sengitnya.
”Waduh... bujubuneng. Klo gitu
aku minta teh angetku saja.”
”Iya... ya, bentar.!”
Tiba-tiba Bobby teringat ummi.
”Ummi-ummi, demikian tragis
nasibku. Anak kesayanganmu terlantar di sini. Sahur cuma pake teh anget. Kalau
di rumah, ummi pasti masak yang enak-enak.” Bobby berandai-andai.
”Ini mas tehnya !” panggilan si ibu penjual
membuyarkan lamunan Bobby.
Segera dia ambil tehnya dan
meminumnya, ” Bissmillah... !”
Akhirnya, perutnya sudah
terisi. Walau cuma segelas teh hangat. Segera dia pulang setelah membayarnya.
”Nggak ada waktu lagi. Bentar
lagi Imsak. Mending pulang ke kos-kosan dan segera siap-siap sholat subuh.”
Bobby memacu motornya dengan
kencang. Sampai di kos, dia langsung minum air putih sebanyak-banyaknya. Tentu
saja, teh hangat tidak cukup membuat perutnya kenyang. Lima menit kemudian Boby
segera ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Setelah sholat, dia tidak
langsung pulang. Bobby bersama jamaah lainnya mendengarkan ceramah pak Kyai
tentang keutamaan Bulan suci Ramadhan.
”Hitung-hitung mengisi waktu.”
pikir Bobby.
Sampai di kos, Bobby tidur
sebentar. ”Kuliah jam setengah delapan. Tidur dulu ah..!
Bangun tidur Bobby merasa
pusing. Perutnya sudah lapar. Tubuhnya lemas tak berdaya. Tapi, dia tetap
memaksakan diri untuk mandi. Sebentar lagi jam kuliah.
Di kampus, Bobby bertambah
parah. Perutnya melilit tanpa kompromi. Matanya merem melek seperti lampu lima
Watt yang hampir mati. Tangan kirinya memegang perut dan yang kanan sibuk
mencatat materi kuliah.
”Ha... jam sembilan.! Maghrib
masih sekitar delapan jam lagi dong. Busyet dah.! Perut ane sudah nggak tahan.”
Bobby nggak kurang akal. Dia
minta izin ke belakang. Sampai di luar kelas dia langsung pergi ke musholla
kampus. Kesempatan itu digunakan Bobby untuk tidur.
”Lumayan dah, tidur dulu.
Moga-moga waktu bangun udah maghrib. He..he..he..!” Bobby mencoba merebahkan
diri dengan kondisi setengah sadar.
Harapan Bobby nggak terjadi.
Dia bangun pas adzan Dhuhur berkumandang. Kondisinya yang masih setengah
ngantuk, sayup-sayup mendengar suara adzan. Dikira sudah maghrib. Langsung
Bobby berteriak, ”Alhamdulillah... sudah adzan. Buka... buka... ! Ternyata doa
ane majur juga. Cespleng. Hehehe...!”
Senyum Bobby sempat
mengembang. Tapi, seketika menciut dan berubah jadi malu luar biasa. Ternyata
masih dzuhur. Udara sedang panas-panasnya. Pantas, Boby merasa aneh. Sudah
maghrib tapi kok masih terang. Apalagi, beberapa mahasiswi tengah bersiap
sholat. Kontan, mereka tidak bisa menahan tawa. Yang sedang sholatpun tampak
tersenyum geli. Ia juga baru menyadari kebegoannya. Ternyata waktu ngantuk
tadi, dia tidur di shaf wanita. Mau gimana lagi, ngantuknya nggak tertahankan. Sambil
cengar-cengir, Bobby berlari keluar. Sepatunya tidak dipakai dulu. Tapi,
disambar begitu saja. Pikirannya hanya satu. Menjauh dulu sejauh-jauhnya. Kalau
perlu ke ujung dunia.
Menjelang maghrib, Bobby bersiap-siap.
Dia mau berbuka puasa di warung makan. Tapi, Anto, temannya mengajak berbuka di
masjid An-Nur. Masjid terbesar di sekitar kampus.
”Bos, disana kita dapat ta’jil
gratis. Pokoknya disana ”maminnya” lengkap.” bujuk Anto.
”Apa itu mamin ? tanya Bobby.
”Makanan minuman.! Masak gitu
aja nggak tahu. Daripada beli di warung. Uangnya disimpan aja dulu. Oke.?
Pokoknya maknyyuuussss.... ”
”Darimana loe tahu informasi
ni ? Jujur aja deh ” Boby langsung bertanya.
”Ha..ha..ha.. ! aku tadi
diberitahu senior-senior kita yang satu Fakultas. Mau nggak ? makanya,
banyak-banyak bergaul sama senior. Biar tahu banyak informasi. Terutama, anak
baru kayak kita. Penting banget. Pengalaman itu berharga bro.”
”Ok, aku ikut”
”Sip lah..! Let’s go.... ”
Kurang dari sepuluh menit,
Bobby telah sampai di masjid An-Nur. Ternyata benar, di masjid sudah banyak
mahasiswa lain yang juga menunggu. Paling banyak tentu para senior-senior
Bobby. salah satunya mas Rahmat, kenalannya yang angkatan 2007. Bobby langsung
memberanikan diri untuk menyapa.
”Mas, sering kesini ya?” tanya
Bobby.
”Sudah tradisi dek. Hahaha...
sejak masuk kuliah, kalo pas bulan ramadhan kayak gini, aku ma temen-temen pasti
kesini. Biasalah, berburu ta’jil. Mumpung gratis. Lumayan, dapat menghemat
pengeluaran.” jawab mas Rahmat.
”Ssst... kami juga punya
julukan khusus lho !” bisik mas Rahmat lagi.
”Apa itu mas.?”
”Ta’jil Hunter (Pemburu
ta’jil)... ha..ha..ha..!
Bobby pun ikut tertawa. Baru
kali ini telinganya mendengar istilah ”ta’jil hunter”. Segera Bobby membaur
dengan jamaah lain. Mereka sama-sama menunggu adzan maghrib dikumandangkan.
Bobby duduk di barisan paling belakang, bersandar di tiang masjid. Maklum, ia
masih baru dengan suasana tersebut.
Adzan Maghrib sudah
berkumandang. Para jamaah langsung mengambil minuman berbuka, teh hangat, yang
telah disajikan takmir masjid. Awalnya tertib, tapi lama-kelamaan langsung
berebutan. Begitu pula Bobby, dia nggak mau ketinggalan. Rasa lapar membuat
refleknya lebih cepat dari biasanya. Begitu mendapatkan minuman, dia langsung
meneguknya sampai habis. Tidak lupa Bobby mengucap syukur.
”Alhamdulillah... maknyus
tenan.!”
Sholat Maghrib segera dimulai.
Setelah mengambil air wudhu, dia langsung menuju shaf terdepan. Tenaganya telah
berangsur pulih, begitu pula dengan semangatnya.
Tapi, Bobby mulai gelisah.
Sang Imam dirasa terlalu lama. Sampai-sampai dia bergumam dalam hati.
”Pak... pak..! ayo cepetan.
Aku sudah mulai laper nih.!” rasa lapar telah membuat bobby tidak bisa khusyuk
dalam sholat
Akhirnya, hidangan utama
keluar. Jamaah kembali duduk dengan rapi. Bobby mengambil tempat duduk paling
depan bersama temannya, Anto. Setelah menunggu beberapa lama, para jamaah
mendapat nasi bungkus. Bobby langsung menyantapnya dengan lahap. Begitu
nikmatnya sampai tidak terasa ia sudah habis terlebih dahulu. Tapi, Bobby malu
untuk mengambil nasi lagi. Padahal, ia melihat masih ada beberapa nasi bungkus
di belakang.
”Ah... nggak papa ! nanti aku
makan lagi di warung. Yang penting, sekarang perut aku ini sudah terisi. Cukup
kenyang kok.!”
Setelah puas, Bobby mengajak Anto untuk pulang. Mereka pun langsung menuju kos tercinta. Bobby
tidur-tiduran sebentar di kamarnya. Ia merenungkan apa yang terjadi pada hari
itu, hari pertama ia puasa tanpa Abi, Ummi, dan adik-adiknya. Mulai dari
terlambat bangun dan sahur cuma dengan air teh hangat, ketiduran di shaf
wanita, dan berburu ta’jil di masjid. Ia merasa kehilangan sentuhan ibu dalam
puasanya kali ini. Tak terasa air matanya mulai menetes.
”Ummi, aku rindu masakan ummi.
Aku rindu saat ummi marah kalau aku malas bangun. Aku rindu kasih sayang ummi
saat menyuruhku berbuka. Ummi, aku ingin pulaaannnggg... ! hiiikksss...
hiiikksss... ”
Tiba-tiba pintu kamarnya
dibuka Anto. Begitu melihat Bobby menangis dan memanggil-manggil ibunya, Anto
tidak kasihan tapi malah menggodanya.
”Hahaha... kenapa bos. ? bos
besar kok nangis. Kangen ibu nih yee.... !”
Bobby yang terpergok sedang
menangis, berusaha mengelak.
”Kurang asem..! ini mata
kemasukan debu, tau ?
”Debu dari mana...? hahaha… Bobby nangis… Bobby nangis… Bobby kangen
emak… Bobby kangen emak...! oh mother, I really… really love you so much.” Anto
masih terus menggoda.
“Kampret..! emang kenapa kalo
aku cinta banget sama emak gue.? Sini loe.!” teriak Bobby.
Bobby jadi lupa dengan
kesedihannya. Dia bahagia punya teman seperti Anto. Keceriannya telah kembali.
”Ummi, Bobby akan coba
melewati Ramadhan kali ini tanpa ummi. Bobby akan berusaha untuk tidak
menyerah. Bobby bukan anak kecil lagi.” janjinya dalam hati.
Komentar
Posting Komentar