Sebuah Cerpen
Percakapanku Dengan Secangkir Kopi
“ Slurrrppphh…….ahhhhh, slurrrppphh…….ahhhh..! ”
Kuseruput kopi di depanku
dengan penuh nikmat. Aku selalu dan selalu melakukannya. Bagiku, kopi lebih
dari sekedar minuman berkafein yang menghilangkan kantuk. Lebih....., lebih
dari itu. Aku merasa dia selalu ada untukku. Mengerti inginku, memahami
pikiranku. Saat kupandangi warnanya, hitam pekat seperti malam tanpa bintang.
Aromanya mampu menembus kalbu. Ketika kupandangi, ia seolah juga memandangku.
Seakan berusaha untuk berkata-kata.
Hampir tiap hari aku
bertemunya. Pagi, siang, sore, malam. Bahkan lebih dari itu saat aku kangen
sekali. Kangen tatapannya, warnanya, aromanya. Dan mungkin kau tidak percaya.
Aku kangen kata-katanya. Dia bicara padaku. Setiap hari, saat aku
menyeruputnya. Dia memberiku solusi, inspirasi yang tak terpikirkan sebelumnya.
Tentu saja kami saling bicara. Dan aku menikmatinya.
Secangkir kopi selalu
memberiku energi. Yang mampu membuat pikiranku kembali fresh dan nggak ngantuk
lagi. Ploonnngggg....! Mataku melek, pusingku hilang dan senyumku kembali
mengembang.
Apakah kau tahu? Kalau aku
bisa mengajaknya bicara. Seperti yang kukatakan, dia selalu ada. Kadang aku
duluan, tapi lebih sering ia yang memulainya. Kapan aku memupuk kebiasaan ini,
akupun nggak tahu. Mungkin sejak SMA. Ketika aku mulai menyukainya. Sangat
menyukainya.
Seperti saat ini, saat aku
mulai menyeruputnya lagi. Hanya dia yang setia. Bahkan ketika aku tidak bicara,
dia mampu meraba hatiku. Mengaduk-aduk perasaanku dengan hanya melihatnya.
”Hei, ada apa sobat ?” Dia
mulai bicara.
”Ga pa-pa...!” Seperti biasa
aku berbohong. Tapi aku juga tahu kalau tidak bisa membohonginya.
”Jangan bohong ! kita ini
sudah berteman lama. Tapi aku lupa sudah berapa lama kita berteman. Bisa
dibilang kita ini sahabat.”
”Emang apa itu sahabat ? Apa
kau tahu ? Kau hanya secangkir kopi. Tidak lebih. Penghiburku dalam sekejap.
Dan kau juga akan habis seperti lainnya. Semua fana. Aku juga, tidak lebih dari
ruh yang berbalut daging. Sedangkan kau ! Kau hanya zat cair yang berwarna
hitam. Tidak lebih.” Aku marah-marah.
”Sobat, tenangkan dirimu...!
Aku kenal kau lebih dari siapapun. Kecuali Tuhan. He..he..he..! Apa kau lupa ?
Hanya aku yang selalu ada untukmu. Saat kau sedih, gembira, murung, terkejut.
Aku bisa melihatmu sobat. Aku bisa membaca isi hatimu.”
”Lebih baik kau diam saja.”
”Diam...., diam katamu.!
Sungguh aneh. Seorang sahabat tidak akan diam jika sahabatnya ada masalah.”
”Kau bilang kau tahu saat aku
marah, senang dan segala ekspresiku. Darimana kau tahu...................,” Belum
sempat aku selesai dia sudah menyahut.
”Hei sobat, aku tahu semua
tingkahmu. Karena Cuma aku yang selalu di dekatmu. Saat kau merasakan itu
semua. Saat IP-mu bagus atau tim sepakbola kesayanganmu kalah. Ha..ha..ha..!
bahkan rahasiamu saat mengutil onde-onde di warung. Kulihat jelas dari raut
wajahmu., gerak-gerikmu, nada bicaramu. Semua..a..a..a....nyaaa..!
Ha..ha..ha..!”
”Pyuhhhhh........!” ( aku
mendengus ). Kuakui semua perkataannya. Tidak ada yang salah. Dialah yang
selalu ada untukku. Mendengarkan keluh-kesahku.
”Oke-oke, apa maumu ? Aku
melunak.
”Gitu dong...! Sekarang cerita
sobat. Apa masalahmu ?” Dia mulai membujuk.
“Tapi ini ra…..ha….si…..a…! Oke..?”
”Oke...! Kau bisa percaya padaku.”
”Kau tidak boleh cerita pada
siapapun..! Janji..?”
”Janji...........! Sialan kau,
ayo cepat cerita. Jangan bertele-tele.” Dia mulai kesal. Dan aku suka kalau dia
mulai tidak sabaran.
Aku mulai cerita. Tentang
diriku yang sedang jatuh cinta. Tentang seorang gadis yang mampu membuatku
terpana. Gaya bicaranya, tutur katanya, pandangannya yang terkesan malu-malu.
Semua kuceritakan. Aku tidak tahu. Apa ini yang dinamakan cinta. Perasaan ini
berbeda. Selama ini aku hanya merasa kagum dengan seorang perempuan yang
kuanggap menarik. Tidak lebih. Dan rasa kagum tidak pernah menjadi cinta. Tapi
ini berbeda. Ada perasaan lain yang mengusikku. Rasa ingin melindunginya,
menjaganya. Walaupun aku tidak berharap memilikinya. Bagiku dia sempurna.
Perasaan yang sulit aku deskripsikan.
Tiba-tiba Si Kopi mulai tertawa. Seandainya
orang-orang di warung bisa mendengarnya, tentu dia akan dihajar. Suara tawanya
begitu keras. Aku saja sampai menutup telinga.
”Stop...stop...! Apa yang kau
tertawakan..?orang lain bisa mendengarmu.” kataku.
”He...he...he...! Tawanya
sudah agak reda dengan volume lebih kecil. Tapi masih dengan nada mengejek
”Tenang sobat..! hanya kau
yang bisa mendengarku. Mereka tidak akan bisa. Karena mereka tidak pernah
menghargai. Sedangkan kau beda. Kau tidak hanya menganggapku sebagai minuman
pekat berkafein. Kau menganggapku lebih. Kau tahu seni menikmati kopi dengan
caramu sendiri. Itu yang yang membuatku berani bicara kepadamu. Kau beda
kawan..........kau beda...!”
”Dengar, masalahmu itu sepele.
Sekarang ikuti petunjukku. Pertama, pejamkan matamu. Bayangkan kau berada di
pegunungan yang sunyi. Hanya kau dan alam.Dengarkan suara burung berkicau,
suara air yang mengalir lembut. Menyatu dalam dirimu. Sudah..?”
”Sudah..!” jawabku.
”Kedua, tarik nafas
dalam-dalam lewat hidung dan tahan beberapa detik. Lalu hembuskan lewat mulut
dengan lembut. Ulangi langkah ini beberapa kali.”
Aku mulai menuruti
perintahnya. Kupejamkan mata dan kubayangkan sedang berada di pegunungan.
Dengan suara kicau burung dan gemericik air. Aku mulai mendapatkan sensasinya.
Kutarik nafas dalam-dalam, kutahan beberapa detik, dan kuhembuskan lewat mulut.
Ternyata benar, aku mulai tenang.
”Sobat...!” Dia bicara lagi.
”Langkah ketiga adalah yang
terpenting. Paling penting dari semuanya. Mengerti..?”
”Jadi ada lagi..? tanyaku.
”Ya..iyalah.....! Kau siap.?
”Oke..!”
”Tegakkan badanmu.! Ulangi
semua langkah di atas beberapa kali.!”
”Setelah itu..?” Aku mulai penasaran
”Minum diriku sampai
habis.....!!!!! ha...ha...ha.....!
Sialan, ternyata dia Cuma
menyuruhku meminum dirinya.
Aku mulai tersenyum. Kuambil
secangkir kopi di hadapanku dan mulai menyeruputnya. Tiba- tiba mataku
membesar.....lalu.....menyipit. Ternyata kopinya kemanisan. Bagaimana bisa ?
padahal tadi aku minum rasanya pahit.
”Bu...! kopinya kemanisan.
Tadi kan saya pesan kopi pahit.” Teriakku pada penjaga warung.
” Perasaan tadi gulanya
sedikit kok. Seperti biasa. Mas kan sukanya pake satu sendok teh gula.”
”Ya..., tapi kok manis
banget..! awalnya tadi pahit. Kok jadi manis..?”
”Apa ibu lupa dan menukarnya
sama pesanan orang ya..?” Si ibu tampak bicara sendiri
”Mana aku tahu..? jawabku
”Tapi nggak ada pelanggan yang
protes kalau kopinya tertukar. Padahal yang pesen kopi pahit kan Cuma mas
sendirian.”
Aku tertegun, selama ini aku
memang suka kopi pahit. Selain takut kena diabetes, lebih karena kopi pahit
lebih manjur khasiatnya (menurutku). Aku kembali memandang kopi di hadapanku.
Tiba-tiba aku mendapat semacam ilham. Aku merenung sebentar.
”Mungkin kopi ini mau memberitahukan sesuatu.”
tanyaku pada diri sendiri.
Aku mencoba mengingat percakapanku dengannya.
Tentang masalahku, terutama cinta yang aku pertanyakan. Aku langsung sadar.
Mungkin dia ingin memberitahuku bahwa cinta itu manis. Dan sekali-kali aku
harus menyambutnya, walau tidak tahu caranya. Dia ingin memberiku sisi lain
dari dirinya yang selalu aku seruput dalam kondisi pahit. Bahwa di sisi
lainnya, dia begitu manis. Dan aku harus mencobanya. Aku kembali meminumnya.
Dan ternyata rasanya pahit kok.
”Mungkin Cuma perasaanku
saja.” Bisikku dalam hati.
Komentar
Posting Komentar